Kamis, 12 April 2012

SEBUAH SURAT UNTUK NATALIA 6

PUTIH.. BUKAN BIRU ATAUPUN MERAHMUDA

Nat, warnamu putih ya kini? Iya, warna kesukaanmu. Foto-foto di facebook sering mengabadikan dirimu dengan busana berwarna putih, entah itu t-shirt, switer, ataupun gaun. Membuat keanggunanmu tambah mempesona. Kau sudah tak suka biru? Bagaimana dengan merahmuda? Ahh.. pasti kau juga sudah lupa kalau pernah menyukainya. Jadi kusimpulkan saja kalau warna kesukaanmu kini adalah putih.

Nat, minggu malam kemarin juga sempat kulihat kau mengenakan warna putih di satu pertemuan ibadah yang tak kusangka akan melihatmu di sana. T-shirt lengan panjang terlihat sedikit kontras dengan kulit kecoklatan, namun tetap tak pudarkan cantik wajahmu. Wajah dengan dagu tirus yang selama ini selalu tergambar di pikiranku sejak perpisahan kita dulu.

Malam itu ketika menyadari kau ada di ruangan lantai lima sebuah hotel sama denganku berada, jantung ini langsung berdebar tak karuan, cepat sekali. Hingga aku tak mengerti itu debar rindu atau ketakutanku. Dan kupilih takut untuk menemuimu walau hanya sekedar berjabat tangan kalau nantinya kita bertemu. Perlahan kuhadapkan pandanganku menatapmu yang sedang berada di sisi lain ruangan untuk sedikit mengusir rasa penasaran karna sekian lama sudah tak pernah lagi kupandangi dirimu langsung, sambil berharap kau tak tau kalau aku ada dan hendak melihatmu. Tersentak aku kemudian, wajahmu di seberang ternyata sedang menoleh ke arahku. Aku serentak memalingkan wajah dan tanpa basa-basi secepatnya aku tinggalkan ruangan itu dengan benak yang masih bertanya-tanya: apakah kau melihatku? atau ada orang lain di sekitarku yang sedang kau perhatikan bukan aku(mudah-mudahan begitu)? pertanyaan-pertanyaan itu berulang terngiang dalam hati. Jangan sampai kau melihatku dan tak menarik, karna aku tak yakin dengan penampilanku malam itu (hahahaha…).

Tapi aku tak benar-benar meninggalkan tempat itu, aku hanya pergi dari jarak sadarmu akan kehadiranku; dan aku hanya ingin merealisasikan janji yang sudah—terlanjur—tertulis di sms terakhirku untukmu. Kau tau, Nat? Setelah keluar dari tempat parkir dengan motor, aku menyinggakan diri di seberang jalan depan hotel, tepatnya di bawah pohon dengan pagar yang cukup menyembunyikanku. Duapuluh menit kumenunggu di sana, entah apa sebenarnya yang kunanti, akupun ragu. Tapi tetap saja aku tak beranjak dari sana, hingga sosokmu mulai muncul dari balik jendela kaca hotel dan mataku tak berkedip memandangimu sampai di depan gerbang. Kumulai menghidupkan mesin untuk kemudian mengendarai motorku sambil memperhatikanmu di sela-sela pagar besi sepanjang jalan seratus meter.

Rambut keriting buatan dan sandal hi-hil juga badan yang terlalu langsing—bagiku—tubuhmu terlihat semakin tinggi. Ya, semakin tinggi dan jauh, karna sebuah tembok telah menghalangi motorku, tapi siluetmu tetap berlalu semakin menjauh. Saat itu aku berbisik untukmu yang tak mungkin kau dengar: aku mencintaimu, Nat. Semoga kau bahagia dengan hidupmu.

Nat, sebenarnya aku tak ingin lagi menulis surat seperti ini sejak kau memarahiku dalam pesanmu waktu itu, karna surat-suratku sangat mengganggu katamu. Tapi aku tak bisa, Nat. Aku tak bisa meninggalkan rutinitas yang sudah lama menjadi bagian sakral dalam perjalanan hidupku. Teman yang menjadi objek untuk mengungkapkan perasaanku tentang hidup. Maaf aku tak bisa memenuhi keinginanmu. Mohon kau memakluminya.

Sejak kau meninggalkanku beberapa tahun lalu, ini adalah kali ke tiga aku melihatmu langsung, Nat. Dan ini lebih dekat dan lebih lama. Aku menyesal dulu tak benar-benar memperhatikanmu. Seandainya aku tau akan seperti ini, takkan kubiarkan sedetikpun pandanganku lepas dari indah wajahmu kala masa-masa kebersaman kita, agar ketika saat ini datang aku sudah cukup puas menatap dirimu dan tak harus susah-susah lagi menguntitmu. Tapi apakah hanya itu ukuran dari sebuah kerinduan? Manusia tak bisa tau apa yang akan terjadi dan terasakan nanti, termasuk dirimu juga aku. Jikapun aku telah mengantisipasi soal memandangimu, bagaimana dengan memeluk atau menciummu? Pasti ketika kita kehilangan orang yang dicintai, tetap saja ada hal-hal yang akan kita sesali karna merasa tak benar-benar melakukannya waktu masih bersama dahulu.

Kini yang hanya bisa kukatakan adalah seandainya dan seandainya. Aku masih belum tau sampai kapan kata itu akan terus menghiasi penyesalanku. Setiap malamku selalu saja diawali dengan kata itu: khayalan yang mengusik setiap langkah demi langkahku. Mungkin saat biru tak lagi jadi perhatianku, dan merahmuda tak berkesan lagi, saat itu baru aku bisa menghapus seandainya untuk kemudian melupakan dirimu. Masih terlalu banyak warna lain ketimbang biru dan merahmuda. Dan jika aku telah menemukan minat terhadap warna baru, aku yakin penyesalan takkan menghantuiku lagi. (Tapi entah kapan..)

Sepertimu, Nat, yang menjadikan putih sebagai warna kesukaanmu kini. Melupakan biru dan merahmuda yang pernah sangat kau inginkan. Aku ingat sepatu kets yang nyaris setiap hari kau pakai ke kampus sangking senangnya kamu akan warna merahmuda, juga tak kulupa t-shirt dan rok biru kesayanganmu. Sampai ketika hari Valentine pertama kitapun kau menghadiahkanku switer berwarna biru, karna saat itu kau tau kalau warna faforitku juga biru.

Nat, aku masih mencintaimu. Tapi memang, kebahagiaanmu adalah yang terpenting. Jika kau bahagia dengan warna putihmu, aku juga turut bahagia untukmu. Warna memang sangat penting untuk memaknai hidup, dan kau berhasil memaknainya. Asal saja jangan banjiri hidupmu dengan warna yang berlebihan, itu menggambarkan kalau hidupmu masih rapuh dan ragu.

Nat, aku harap surat-suratku takkan mengganggu seperti katamu. Aku hanya ingin mencoba bercerita tentang kisahku, tentang cinta dan kasih; tawa dan tangis yang kerap mewarnai hidup.
Salam hangat dan kasih dariku.

Nasto.

Kamis, 03 Maret 2011

SEBUAH SURAT UNTUK NATALIA 5



Bagaimana kabarmu kini, Nat? Tak terasa berbulan sudah tak kutulis surat untukmu. Mungkin aku mulai bosan setelah berkali tak jua terima balasanmu; atau mungkin hati ini yang takut memaku asa pada cinta tak sampai ini..

Bulan lalu kudengar kau sudah kembali dari petualanganmu di daratan lain yang sempat lama membuat kita terpisah oleh luasnya laut. Dan kini, kau dan aku berada di bawah langit kota yang sama lagi. Kota yang dulu pernah menjadi saksi bisu kisah kita, kisah yang hingga kini tak terhapus oleh ingatan dan hatiku, walau limapuluhsatu bulan telah temani ‘tuk lupakanmu, tapi tetap saja aku tak bisa..

Minggu lalu sempat juga kudengar kau sakit karna kecelakaan motor. Kau tahu? Ketakutan sekejap merebak ke seluruh rongga hatiku; cukup aku kehilangan cintamu, jangan lagi kehilangan dirimu; sedang setengah jiwaku masih mengharapkanmu. Tapi katanya kau tak apa-apa, hanya menderita luka kecil. Bukankah sudah kubilang untuk berhati-hati ketika mengendarai sepeda motor sendirian; tapi pasti saat itu kau tak menghiraukan perkataanku karna aku dan suaraku tak berarti lagi bagimu 'kan..

Tapi.. tak kusangka kemarin kuterima pesan darimu. Pesan yang empat tahun dan beberapa bulan sudah kutunggu kau kirim untukku, dan akhirnya datang juga. Tapi isi pesan itu tak dapat membuatku menemukan sosokmu di dalamnya. Kenapa, Nat? Aku seperti tak mengenalmu, atau mungkin kau memang sudah diubah waktu. Maaf, aku telah menjawab “tidak” –meski sebenarnya aku menyesal mengatakan itu, tapi kemudian kau berubah pikiran; dan akupun lega walau sebenarnya sakit di dalam sini–, bukan maksud ‘tuk menolak. Yang kuinginkan adalah memilikimu seumur hidupku, bukan untuk sesaat dalam nikmat kenangan masa lalu. Kurasa kau sudah tau itu sejak lama..

Nat, aku ingin kau dapatkan yang terbaik, entah dalam kehidupanmu atau cintamu. Aku ingin nanti kau dapatkan cinta yang setiap pagi ketika kau membuka mata, ia ada di sampingmu, membuat jantungmu berdetak kencang kala memandangnya yang masih terlelap mimpikanmu; dan sebaliknya saat ia bangun, iapun merasakan getaran di dada ketika segelas kopi kau suguhkan di hadapnya. Entah arti cinta bagimu apa, tapi yang pasti, setiap kau memikirkan atau merindukan seseorang dan membuat debaran hingga serasa sedikit sesak gembira di dada, meski seseorang itu telah ada di hadapanmu sekalipun dan getaran itu masih ada merasukimu: itulah cinta bagiku. Dan kuharap kau juga..

Aku memang berharap di samping tidurmu saat itu semoga adalah diriku yang sangat mencintaimu. Tapi kalaupun bukan aku yang terbaik pada kacamata cintamu, aku akan pasti menerimanya. Aku akan bahagia untuk kebahagiaanmu, karna bagiku –dan kebanyakan orang– tak selamanya cinta harus memiliki..

Tapi aku mohon padamu untuk memilih dengan tepat segala yang dapat membahagiakanmu kelak..

Aku mohon padamu untuk mencari dan merasakan cinta dari hatimu, dan tak akan pernah kau sesali dalam hidupmu di esok nanti..

Aku mohon, Nat. Aku mohon..

Aku senang kita sudah berada di bawah langit kota yang sama lagi. Kota yang menyimpan ribu kenangan indah bersamamu. Ketika awan mendung di langit, aku tau di atap rumahmu akan diketuk rintik-rintik kecil, kemudian diserbu juta tetes air hujan basahi pekarangan rumahmu; jika terik di langit, aku tau kau akan memerlukan beberapa es batu untuk sejukkan minumanmu karna matahari terlalu menggerahkanmu..

Aku senang kita sudah berada di bawah langit kota yang sama lagi, setidaknya aku bisa tau musim-musim hidup yang kau lalui..

Salam cinta dariku..

-Nasto-

Minggu, 09 Januari 2011

“KUTAU KAU TAU”

Kutau kau tau langkahku lewat depan langkahmu

Menunduk kau awalnya kukira bukan

Kuyakin kau yakin nafasku berhembus sekitar nafasmu

Beruntun detak jantung serangku kala tersadarkan

Kulihat kaupun lihat saat kuberlalu

Tersusul ganjil berdesis dalam lubuk tak terkatakan

Kurasa kaupun rasa bisik hatiku

Semua tentangmu tercampak sabtu malam lalu


30-01-10

Selasa, 14 Desember 2010

SEBUAH SURAT UNTUK NATALIA 4


-kenangan, hatiku dan masa lalu; tapi bukan aku-

Nat, ini kirimanku yang keempat untukmu. Yang berspasi cukup panjang hingga buatmu menunggu atau malah beria karna tak mau tau lagi dengan segala tentangku, sebab di sana ada menara cinta baru yang bertahun sudah kau bangun dengannya setelah menara cinta kita terhenti begitu saja ditinggal dirimu, dan tak mungkin lagi aku teruskan sendiri membangunnya.

Sebenarnya akupun malu menulis ini, aku seperti tak berharga diri, mengharap rasa yang jelas-jelas bukan lagi untuk kukecap; aroma yang tak akan lagi membauiku. Tapi inilah cinta bagiku: segumpal kata yang berwujud asa mengalir ke seluruh rongga hidup, mengabadikan sosok dirimu sampai ke setiap sel diriku, dan akhirnya aku hidup dalam harapan akanmu.

Mengenangmu adalah rutinitas yang tak luput dalam keseharian. Merindumu bahkan menjadi sarapan pagi. Apakah harga diri jauh lebih mahal untuk dipertahankan sedangkan dirimu adalah bagian yang tak mungkin ditinggalkan?

Nat, barusan aku nonton film. Judulnya “Modern Boys”, derama Korea. Romantis loh. Ada satu momen yang mengingatkan aku padamu ketika menontonnya, saat pemeran utama pria dan wanita duduk bersama dalam bis. Si wanita dengan perlahan menyandarkan kepalanya ke pundak pacarnya.
***
Waktu itu senja mulai redup, bis yang kita tumpangi sesak dengan para penumpang. Hiruk suara berseliweran dari depan, belakang hingga samping, tapi serasa hanya kita berdua yang terdampar di sana. Terdengar suara lembutmu bertutur setengah berbisik: Van, boleh aku pinjam pundakmu sebentar? Sambil kau miringkan kepala menyandari pelan pundakku. Aku tak bisa menahan rasa bahagiaku saat itu. Saat pertama harum rambutmu dapat kucium jelas, juga saat pertama wajahmu menempel dengan wajahku, lalu kukecup lembut keningmu dengan bibir yang bergetar, jantung yang berdebar.
***
Nat, sedang apa kau di tempatmu sekarang? Mungkinkah sedang memikirkanku yang masih tersimpan dalam kotak kenangan atau malah tak sedikitpun aku terlintas karna kotak itu telah lama kau buang ke laut atau malah samudra? Tanya hatiku. Tapi bukan tanyaku. Hatikulah yang menanyakan itu, bukan aku. Hatiku berjuang dengan impian tentangmu; mencintaimu dengan segala keterbatasan; mengharapkan dengan segala ketidakmungkinan, hingga khayalan menjadi rumah tempatnya pulang.

Tapi aku, aku berjuang dengan realitas. Kenyataan-kenyataan yang memaksaku harus tampil seakan-akan kuat, seakan-akan tersenyum, dan seakan-akan kau hanyalah bagian lembar tua yang sudah kubuang jauh dari buku hatiku. Tapi semua itu hanyalah topeng agar kau yang masih diam dalam rongga jiwa ini tak menjadi bahan tertawaan sekeliling, karna sepertinya cuma aku seorang yang masih saja terjebak dalam obsesi cinta satu wanita sedangkan banyak wanita di dunia ini yang mustahil satu diantara mereka tak ada yang bisa mengisi lembar baruku; atau juga jadi bahan simpati dan haru sekeliling karna sepertinya hanya aku seorang yang masih naïf maknai cinta dari ketulusan rasa, sedangkan zaman ini orang-orang hanya mengartikan cinta dari segi materi dan keindahan semu saja. Mungkin bisa jadi aku produk masa lalu yang terdampar di masa ini, hingga sering hatiku merasa asing dan berbeda. Apakah salah ketika ketidakmungkinan menjadi harapan?

Nat, kau adalah tujuan imajinasiku. Walau tak terlihat dalam realitas aku menujuimu, tapi pikiranku selalu pulang padamu. Pulang ke dalam bis itu, ketika kepalamu lembut menyandari pundakku dan terlelap di sana hingga malam menyambut. Aku tidak tau pasti kau terlelap saat itu atau sama saja denganku yang hanya terdiam terpaku dengan degub jantung yang tak beraturan. Perjalanan duapuluhan kilometer itu menjadi perjalanan yang tak terlupa. Tak terlupa oleh kenangan, hatiku dan masa lalu; tapi bukan aku. Itu hatiku.

Mungkin, ketika ketidakmungkinan menjadi mungkin, topeng ini akan bisa kubuka. Dan hatiku yang jujur kelak menjadi wajah yang selalu menujuimu, memandangimu.. (harap kau memaklumi)
Semoga satu kisah mempertemukan kita lagi.

Semoga..

Kamis, 11 November 2010

PERTAMA BERTEMU (111104)

MERCUSUAR PENJAGA

Hari ini tepat enam tahun sejak pertama kita bertemu. Saat malam sedang memaparkan pesona keindahan; pertemuan yang penuh dengan debaran dan harapan. Aku ingin mengingat lagi saat-saat itu kini, di hari ini.
Apakah kau masih mengenangnya?

***

Kau yang berbalutkan t-shirt(aku lupa warnanya), celana jeans ketat panjang(di kemudiannya aku tau kalau memakai celana jeans adalah kesukaanmu), dan sepatu kets merah muda, menarik perhatianku. Kau terlihat berbeda dari semua wanita yang hadir di acara itu. Di halaman luar gedung dekat pintu gerbang saat acara usai, kedua telapak tangan kanan kita bertemu untuk sebuah perkenalan. Kau tambah anggun ketika senyum dan tawa ceriamu merobohkan tembok kekakuan kita. Kekakuanku.

Natalia. Suaramu menggetarkan seluruh rongga ruhku(yang hingga kini getaran itu masih ada), kemudian jiwaku seperti melayang memeluk hatimu. Di hati itu ternyata ada pintu kecil untuk kumasuk ke ruang kerdil berisikan perasaan rapuhmu. Ketika berada di dalam sana melihat kerapuhan itu, aku lalu meyakinkan hatiku untuk selalu menjaganya agar tak hancur oleh pengalaman hidup dan perjalanan waktu.

Kau datang di saat yang tak terduga(mungkin aku yang datang di saat tak terdugamu), melebarkan sayapku untuk terbang dalam ekspektasi yang lebih luas lagi. Sayap-sayap itu kemudian membawaku mengitari segenap ruang hidupmu, dan perlahan kubangun mercusuar di hatimu. Menerangi malammu.

Di ujung menara terdapat sebuah lampu. Sinar lampu itu terus berkeliling menerangi sudut-sudut benakmu, mencari perasaan-perasaan ganjil yang menyelinap di laut hatimu. Ketika kutemukan. Keganjilan-keganjilan itu kuhancurkan seketika, terus-menerus lalu kuganti dengan kegenapan niatku dan kesempurnaan cintaku. Itu berlangsung berminggu, berbulan, sampai bertahun; tapi tak kunjung mengekal.

Di ujung kisah kita mercusuar itu menua dengan cepat, dinding-dindingnya mulai mengeropos, hingga tak kuat lagi menahan lampu sorot di puncak menara. Suatu saat di kemudiannya mercusuar itu roboh, lampunya hancur dan padam, lalu puing-puingnya tenggelam ke dasar laut masa lalu. Itulah akhir dari kisah mercusuar penjaga. Akhir dari kisah kita.
***
Tapi sebuah detik telah terekam jernih dalam benakku, detik itu terabadikan seperti potret yang terpampang di bingkai hati. Detik di mana kau menjabat tanganku, sembari wajahmu semerbakan senyum ceria. Bak dejavu, detik itu terus-menerus menampakkan diri nyaris di setiap waktuku. Ia mengingatkanku lagi akan cinta sejati, bahwa debaran itu masih ada, bahwa sayap-sayap harapan masih terbang untuk menggapai cita cinta.

Apakah di sana kau masih mengingatku?
Atau sekedar saja mengenang saat pertama kita bertemu?

Seperti hari ini, aku teringat lagi saat pertama kali kita berjumpa, pertama kali kau tersenyum padaku, pertama kali kutemukan bidadari dalam hidupku, pertama yang menambah cepat detak jantungku—hingga kadang terasa sesak; dan entah kapan jantung itu akan kembali berdetak seperti biasanya.
Mungkin saat aku sudah bisa melupakanmu..

Mungkin..

SENJA BERLUTUT

Di sini, senja sedang menganga menanti malam mengganti. Mentari yang nyaris selesaikan tugas masih sempat menjadi saksi sejarah ini.

Dia, menunduk dengan lutut bertelut di beranda depan pintu sebuah rumah. rumah sang kekasih pencuri hati. Sudah bermenit dia tak beranjak, hanya memori yang melayang melompat ke masa tawa dan canda masih menaungi. Di sana ada tangan `tuk dipegang, sapaan sayang, ciuman manis, pertengkaran yang selalu diakhiri dengan pelukan mesrah, tempat berbagi suka-duka, dan segala yang dirasanya indah. “Dia pasti jodohku,” keyakinan yang dia pegang teguh meski kontras dengan realita.

Ada yang berkata: ”Cinta terlarang tak mesti diteruskan.” Pernyataan yang pas bila menjadi seuntai nasehat untuknya seperti tanda lalu-lintas STOP (dilarang terus) yang semestinya dipajang pada awal cintanya bersemi. Tapi begitulah uniknya manusia, saat larangan demi larangan bak mempersempit skala kebebasan, mereka akan mencari alternativ agar tetap menuju jalan yang dikehendaki walau terlarang.
Begitulah dia merajut kasih yang tak terestu, malah makin kuat cintanya hingga dua tahun kasih itu mengukir.

Di sini, seperti habis kata dia berucap, airmata bahkan tak kompromi menjaga gengsinya sampai membanjir basahi bumi, untung kakinya adalah penyangga setia. Dari sepasang mata hingga berpuluh-puluh kepala menontoni dia bertekuk pertaruhkan harga diri demi cinta yang ditemboki orangtua sang kekasih impian. Mereka menonton dengan berbagai asumsi: negatif maupun positif. Ada yang bersimpati dan akhirnya terharu, tapi lebih banyak dari mereka tak mau tau perasaannya yang sedang hancur berkeping-keping itu karna alasan-alasan yang memang wajar bagi sebuah kompleks perumahan –polisi- yang semestinya jauh dari hal –konyol- seperti ini.

Mulut-mulut bergantian memaki, sejumlah fitnahpun tak pelak rumputi hati yang telah tebal oleh duka bagai bumi kehilangan cahaya surya hingga layu seluruh kehidupan di semesta. Tak ketinggalan tangan dan kaki beberapa mampir tak sopan di wajah juga tubuh namun dirasanya bak angin, bahkan menganggap pukulan-pukulan itu adalah ornamen yang dibutuhkan sebagai bukti bahwa sebait cerita ironis pernah tertulis dan sebuah gambar deramatis pernah terlukis.

Empat puluh menit lewat sudah, empat puluh menit yang mengukir sejarah. Dia pun tersadar habis sudah harapan, hilang sudah kesempatan. Dia kecewa sebab tak ada lagi pembelaan, tak ada lagi pelukan siap mati bersama kala geram si ayah membeludak saat memergok mereka di rumah ini setahun yang lalu dan tak ada lagi mata basah menatapnya yang berarti “aku `kan tetap mencintaimu”. Malah ketika tamparan sang ayah dan makian sang ibu menghujam waktu masuk tadi dia ke rumah ini baik-baik seperti layaknya seorang lelaki berharap restu `kan diperoleh –meski peluang itu 99:1- hanya kata-kata kecil sang kekasih menyambil saat dia terusir keluar tak terhormat: “pulanglah, kau hanya akan membuat semuanya tambah kacau”.

Akupun tak tega melihat dia yang memohon cinta tertunduk kalut melarut dengan hinaan dan cacian mereka-mereka yang belum mengerti, tak mengerti, atau sudah tak mau mengerti lagi arti cinta karna kedewasaan yang pekat telah buyarkan kenangan masa remaja di mana cinta bagai bagian yang tak terpisahkan dalam keseharian; walau memang setiap insan melaluinya dengan cara yang berbeda.

Dengan nasehat dan sedikit bujukan, aku menarik lalu membawanya pergi dari keramaian yang adalah keasingan baginya ini. Sekelebat kulihat matanya memandang ke arah jendela, ada sepasang mata di balik gorden di sana, mata sang kekasih impian yang tak berani menampakan diri, membiarkan dia berjuang sendiri. Untuk sekian detik mereka saling menatap, dan benar, tak ada pandangan hangat dari balik kain putih itu.

Aku semakin tak tega, kubawa dia lebih cepat lagi lari dari mimpi buruknya ini. Hanya seuntai tutur yang sempat kudengar terkata dari mulutnya yang bergetar: “Inilah terakhir kuperjuangkan cinta.” Seperti habis semua asa, semangat tak terbias lagi di wajahnya, sampai hilang dia berlalu menyatu dengan hiruk-pikuk kota, dan senja berlutut menyerah pada dingin yang memerih di malam hari.

Jumat, 05 November 2010

BATU PANTAI KITA


Pada batu pantai kita
Kau ukir namamu dan ku indah warna putih
Menyentuh desau angin kepak ombak
dalam lubuk berperih
Anugerah rasa meluk hangat hati lebur besi
Sering kutemu nama di bebatuan
Sering kudengar tampar ombak dihamparan
Tapi jantungmu tak debar lagi di jantungku kini
Jiwamu tak hangat lagi dijiwaku ini
Hanya seukir nama tertinggal pada batu pantai kita
Namaku..