Selasa, 14 Desember 2010

SEBUAH SURAT UNTUK NATALIA 4


-kenangan, hatiku dan masa lalu; tapi bukan aku-

Nat, ini kirimanku yang keempat untukmu. Yang berspasi cukup panjang hingga buatmu menunggu atau malah beria karna tak mau tau lagi dengan segala tentangku, sebab di sana ada menara cinta baru yang bertahun sudah kau bangun dengannya setelah menara cinta kita terhenti begitu saja ditinggal dirimu, dan tak mungkin lagi aku teruskan sendiri membangunnya.

Sebenarnya akupun malu menulis ini, aku seperti tak berharga diri, mengharap rasa yang jelas-jelas bukan lagi untuk kukecap; aroma yang tak akan lagi membauiku. Tapi inilah cinta bagiku: segumpal kata yang berwujud asa mengalir ke seluruh rongga hidup, mengabadikan sosok dirimu sampai ke setiap sel diriku, dan akhirnya aku hidup dalam harapan akanmu.

Mengenangmu adalah rutinitas yang tak luput dalam keseharian. Merindumu bahkan menjadi sarapan pagi. Apakah harga diri jauh lebih mahal untuk dipertahankan sedangkan dirimu adalah bagian yang tak mungkin ditinggalkan?

Nat, barusan aku nonton film. Judulnya “Modern Boys”, derama Korea. Romantis loh. Ada satu momen yang mengingatkan aku padamu ketika menontonnya, saat pemeran utama pria dan wanita duduk bersama dalam bis. Si wanita dengan perlahan menyandarkan kepalanya ke pundak pacarnya.
***
Waktu itu senja mulai redup, bis yang kita tumpangi sesak dengan para penumpang. Hiruk suara berseliweran dari depan, belakang hingga samping, tapi serasa hanya kita berdua yang terdampar di sana. Terdengar suara lembutmu bertutur setengah berbisik: Van, boleh aku pinjam pundakmu sebentar? Sambil kau miringkan kepala menyandari pelan pundakku. Aku tak bisa menahan rasa bahagiaku saat itu. Saat pertama harum rambutmu dapat kucium jelas, juga saat pertama wajahmu menempel dengan wajahku, lalu kukecup lembut keningmu dengan bibir yang bergetar, jantung yang berdebar.
***
Nat, sedang apa kau di tempatmu sekarang? Mungkinkah sedang memikirkanku yang masih tersimpan dalam kotak kenangan atau malah tak sedikitpun aku terlintas karna kotak itu telah lama kau buang ke laut atau malah samudra? Tanya hatiku. Tapi bukan tanyaku. Hatikulah yang menanyakan itu, bukan aku. Hatiku berjuang dengan impian tentangmu; mencintaimu dengan segala keterbatasan; mengharapkan dengan segala ketidakmungkinan, hingga khayalan menjadi rumah tempatnya pulang.

Tapi aku, aku berjuang dengan realitas. Kenyataan-kenyataan yang memaksaku harus tampil seakan-akan kuat, seakan-akan tersenyum, dan seakan-akan kau hanyalah bagian lembar tua yang sudah kubuang jauh dari buku hatiku. Tapi semua itu hanyalah topeng agar kau yang masih diam dalam rongga jiwa ini tak menjadi bahan tertawaan sekeliling, karna sepertinya cuma aku seorang yang masih saja terjebak dalam obsesi cinta satu wanita sedangkan banyak wanita di dunia ini yang mustahil satu diantara mereka tak ada yang bisa mengisi lembar baruku; atau juga jadi bahan simpati dan haru sekeliling karna sepertinya hanya aku seorang yang masih naïf maknai cinta dari ketulusan rasa, sedangkan zaman ini orang-orang hanya mengartikan cinta dari segi materi dan keindahan semu saja. Mungkin bisa jadi aku produk masa lalu yang terdampar di masa ini, hingga sering hatiku merasa asing dan berbeda. Apakah salah ketika ketidakmungkinan menjadi harapan?

Nat, kau adalah tujuan imajinasiku. Walau tak terlihat dalam realitas aku menujuimu, tapi pikiranku selalu pulang padamu. Pulang ke dalam bis itu, ketika kepalamu lembut menyandari pundakku dan terlelap di sana hingga malam menyambut. Aku tidak tau pasti kau terlelap saat itu atau sama saja denganku yang hanya terdiam terpaku dengan degub jantung yang tak beraturan. Perjalanan duapuluhan kilometer itu menjadi perjalanan yang tak terlupa. Tak terlupa oleh kenangan, hatiku dan masa lalu; tapi bukan aku. Itu hatiku.

Mungkin, ketika ketidakmungkinan menjadi mungkin, topeng ini akan bisa kubuka. Dan hatiku yang jujur kelak menjadi wajah yang selalu menujuimu, memandangimu.. (harap kau memaklumi)
Semoga satu kisah mempertemukan kita lagi.

Semoga..