Kamis, 12 April 2012

SEBUAH SURAT UNTUK NATALIA 6

PUTIH.. BUKAN BIRU ATAUPUN MERAHMUDA

Nat, warnamu putih ya kini? Iya, warna kesukaanmu. Foto-foto di facebook sering mengabadikan dirimu dengan busana berwarna putih, entah itu t-shirt, switer, ataupun gaun. Membuat keanggunanmu tambah mempesona. Kau sudah tak suka biru? Bagaimana dengan merahmuda? Ahh.. pasti kau juga sudah lupa kalau pernah menyukainya. Jadi kusimpulkan saja kalau warna kesukaanmu kini adalah putih.

Nat, minggu malam kemarin juga sempat kulihat kau mengenakan warna putih di satu pertemuan ibadah yang tak kusangka akan melihatmu di sana. T-shirt lengan panjang terlihat sedikit kontras dengan kulit kecoklatan, namun tetap tak pudarkan cantik wajahmu. Wajah dengan dagu tirus yang selama ini selalu tergambar di pikiranku sejak perpisahan kita dulu.

Malam itu ketika menyadari kau ada di ruangan lantai lima sebuah hotel sama denganku berada, jantung ini langsung berdebar tak karuan, cepat sekali. Hingga aku tak mengerti itu debar rindu atau ketakutanku. Dan kupilih takut untuk menemuimu walau hanya sekedar berjabat tangan kalau nantinya kita bertemu. Perlahan kuhadapkan pandanganku menatapmu yang sedang berada di sisi lain ruangan untuk sedikit mengusir rasa penasaran karna sekian lama sudah tak pernah lagi kupandangi dirimu langsung, sambil berharap kau tak tau kalau aku ada dan hendak melihatmu. Tersentak aku kemudian, wajahmu di seberang ternyata sedang menoleh ke arahku. Aku serentak memalingkan wajah dan tanpa basa-basi secepatnya aku tinggalkan ruangan itu dengan benak yang masih bertanya-tanya: apakah kau melihatku? atau ada orang lain di sekitarku yang sedang kau perhatikan bukan aku(mudah-mudahan begitu)? pertanyaan-pertanyaan itu berulang terngiang dalam hati. Jangan sampai kau melihatku dan tak menarik, karna aku tak yakin dengan penampilanku malam itu (hahahaha…).

Tapi aku tak benar-benar meninggalkan tempat itu, aku hanya pergi dari jarak sadarmu akan kehadiranku; dan aku hanya ingin merealisasikan janji yang sudah—terlanjur—tertulis di sms terakhirku untukmu. Kau tau, Nat? Setelah keluar dari tempat parkir dengan motor, aku menyinggakan diri di seberang jalan depan hotel, tepatnya di bawah pohon dengan pagar yang cukup menyembunyikanku. Duapuluh menit kumenunggu di sana, entah apa sebenarnya yang kunanti, akupun ragu. Tapi tetap saja aku tak beranjak dari sana, hingga sosokmu mulai muncul dari balik jendela kaca hotel dan mataku tak berkedip memandangimu sampai di depan gerbang. Kumulai menghidupkan mesin untuk kemudian mengendarai motorku sambil memperhatikanmu di sela-sela pagar besi sepanjang jalan seratus meter.

Rambut keriting buatan dan sandal hi-hil juga badan yang terlalu langsing—bagiku—tubuhmu terlihat semakin tinggi. Ya, semakin tinggi dan jauh, karna sebuah tembok telah menghalangi motorku, tapi siluetmu tetap berlalu semakin menjauh. Saat itu aku berbisik untukmu yang tak mungkin kau dengar: aku mencintaimu, Nat. Semoga kau bahagia dengan hidupmu.

Nat, sebenarnya aku tak ingin lagi menulis surat seperti ini sejak kau memarahiku dalam pesanmu waktu itu, karna surat-suratku sangat mengganggu katamu. Tapi aku tak bisa, Nat. Aku tak bisa meninggalkan rutinitas yang sudah lama menjadi bagian sakral dalam perjalanan hidupku. Teman yang menjadi objek untuk mengungkapkan perasaanku tentang hidup. Maaf aku tak bisa memenuhi keinginanmu. Mohon kau memakluminya.

Sejak kau meninggalkanku beberapa tahun lalu, ini adalah kali ke tiga aku melihatmu langsung, Nat. Dan ini lebih dekat dan lebih lama. Aku menyesal dulu tak benar-benar memperhatikanmu. Seandainya aku tau akan seperti ini, takkan kubiarkan sedetikpun pandanganku lepas dari indah wajahmu kala masa-masa kebersaman kita, agar ketika saat ini datang aku sudah cukup puas menatap dirimu dan tak harus susah-susah lagi menguntitmu. Tapi apakah hanya itu ukuran dari sebuah kerinduan? Manusia tak bisa tau apa yang akan terjadi dan terasakan nanti, termasuk dirimu juga aku. Jikapun aku telah mengantisipasi soal memandangimu, bagaimana dengan memeluk atau menciummu? Pasti ketika kita kehilangan orang yang dicintai, tetap saja ada hal-hal yang akan kita sesali karna merasa tak benar-benar melakukannya waktu masih bersama dahulu.

Kini yang hanya bisa kukatakan adalah seandainya dan seandainya. Aku masih belum tau sampai kapan kata itu akan terus menghiasi penyesalanku. Setiap malamku selalu saja diawali dengan kata itu: khayalan yang mengusik setiap langkah demi langkahku. Mungkin saat biru tak lagi jadi perhatianku, dan merahmuda tak berkesan lagi, saat itu baru aku bisa menghapus seandainya untuk kemudian melupakan dirimu. Masih terlalu banyak warna lain ketimbang biru dan merahmuda. Dan jika aku telah menemukan minat terhadap warna baru, aku yakin penyesalan takkan menghantuiku lagi. (Tapi entah kapan..)

Sepertimu, Nat, yang menjadikan putih sebagai warna kesukaanmu kini. Melupakan biru dan merahmuda yang pernah sangat kau inginkan. Aku ingat sepatu kets yang nyaris setiap hari kau pakai ke kampus sangking senangnya kamu akan warna merahmuda, juga tak kulupa t-shirt dan rok biru kesayanganmu. Sampai ketika hari Valentine pertama kitapun kau menghadiahkanku switer berwarna biru, karna saat itu kau tau kalau warna faforitku juga biru.

Nat, aku masih mencintaimu. Tapi memang, kebahagiaanmu adalah yang terpenting. Jika kau bahagia dengan warna putihmu, aku juga turut bahagia untukmu. Warna memang sangat penting untuk memaknai hidup, dan kau berhasil memaknainya. Asal saja jangan banjiri hidupmu dengan warna yang berlebihan, itu menggambarkan kalau hidupmu masih rapuh dan ragu.

Nat, aku harap surat-suratku takkan mengganggu seperti katamu. Aku hanya ingin mencoba bercerita tentang kisahku, tentang cinta dan kasih; tawa dan tangis yang kerap mewarnai hidup.
Salam hangat dan kasih dariku.

Nasto.