Kamis, 11 November 2010

SENJA BERLUTUT

Di sini, senja sedang menganga menanti malam mengganti. Mentari yang nyaris selesaikan tugas masih sempat menjadi saksi sejarah ini.

Dia, menunduk dengan lutut bertelut di beranda depan pintu sebuah rumah. rumah sang kekasih pencuri hati. Sudah bermenit dia tak beranjak, hanya memori yang melayang melompat ke masa tawa dan canda masih menaungi. Di sana ada tangan `tuk dipegang, sapaan sayang, ciuman manis, pertengkaran yang selalu diakhiri dengan pelukan mesrah, tempat berbagi suka-duka, dan segala yang dirasanya indah. “Dia pasti jodohku,” keyakinan yang dia pegang teguh meski kontras dengan realita.

Ada yang berkata: ”Cinta terlarang tak mesti diteruskan.” Pernyataan yang pas bila menjadi seuntai nasehat untuknya seperti tanda lalu-lintas STOP (dilarang terus) yang semestinya dipajang pada awal cintanya bersemi. Tapi begitulah uniknya manusia, saat larangan demi larangan bak mempersempit skala kebebasan, mereka akan mencari alternativ agar tetap menuju jalan yang dikehendaki walau terlarang.
Begitulah dia merajut kasih yang tak terestu, malah makin kuat cintanya hingga dua tahun kasih itu mengukir.

Di sini, seperti habis kata dia berucap, airmata bahkan tak kompromi menjaga gengsinya sampai membanjir basahi bumi, untung kakinya adalah penyangga setia. Dari sepasang mata hingga berpuluh-puluh kepala menontoni dia bertekuk pertaruhkan harga diri demi cinta yang ditemboki orangtua sang kekasih impian. Mereka menonton dengan berbagai asumsi: negatif maupun positif. Ada yang bersimpati dan akhirnya terharu, tapi lebih banyak dari mereka tak mau tau perasaannya yang sedang hancur berkeping-keping itu karna alasan-alasan yang memang wajar bagi sebuah kompleks perumahan –polisi- yang semestinya jauh dari hal –konyol- seperti ini.

Mulut-mulut bergantian memaki, sejumlah fitnahpun tak pelak rumputi hati yang telah tebal oleh duka bagai bumi kehilangan cahaya surya hingga layu seluruh kehidupan di semesta. Tak ketinggalan tangan dan kaki beberapa mampir tak sopan di wajah juga tubuh namun dirasanya bak angin, bahkan menganggap pukulan-pukulan itu adalah ornamen yang dibutuhkan sebagai bukti bahwa sebait cerita ironis pernah tertulis dan sebuah gambar deramatis pernah terlukis.

Empat puluh menit lewat sudah, empat puluh menit yang mengukir sejarah. Dia pun tersadar habis sudah harapan, hilang sudah kesempatan. Dia kecewa sebab tak ada lagi pembelaan, tak ada lagi pelukan siap mati bersama kala geram si ayah membeludak saat memergok mereka di rumah ini setahun yang lalu dan tak ada lagi mata basah menatapnya yang berarti “aku `kan tetap mencintaimu”. Malah ketika tamparan sang ayah dan makian sang ibu menghujam waktu masuk tadi dia ke rumah ini baik-baik seperti layaknya seorang lelaki berharap restu `kan diperoleh –meski peluang itu 99:1- hanya kata-kata kecil sang kekasih menyambil saat dia terusir keluar tak terhormat: “pulanglah, kau hanya akan membuat semuanya tambah kacau”.

Akupun tak tega melihat dia yang memohon cinta tertunduk kalut melarut dengan hinaan dan cacian mereka-mereka yang belum mengerti, tak mengerti, atau sudah tak mau mengerti lagi arti cinta karna kedewasaan yang pekat telah buyarkan kenangan masa remaja di mana cinta bagai bagian yang tak terpisahkan dalam keseharian; walau memang setiap insan melaluinya dengan cara yang berbeda.

Dengan nasehat dan sedikit bujukan, aku menarik lalu membawanya pergi dari keramaian yang adalah keasingan baginya ini. Sekelebat kulihat matanya memandang ke arah jendela, ada sepasang mata di balik gorden di sana, mata sang kekasih impian yang tak berani menampakan diri, membiarkan dia berjuang sendiri. Untuk sekian detik mereka saling menatap, dan benar, tak ada pandangan hangat dari balik kain putih itu.

Aku semakin tak tega, kubawa dia lebih cepat lagi lari dari mimpi buruknya ini. Hanya seuntai tutur yang sempat kudengar terkata dari mulutnya yang bergetar: “Inilah terakhir kuperjuangkan cinta.” Seperti habis semua asa, semangat tak terbias lagi di wajahnya, sampai hilang dia berlalu menyatu dengan hiruk-pikuk kota, dan senja berlutut menyerah pada dingin yang memerih di malam hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar